SEDIKIT OLEH-OLEH CERITA JALAN-JALAN KE CIREBON BERSAMA IWAN TIRTA 24-26 AGUSTUS 200
Dear All,
Suatu waktu saya ditawari tugas untuk menemani pendengar Radio Delta dalam suatu acara khusus Cultural Trip ke Cirebon sambil nonton sajian tari klasik jawa dimana baju-baju penarinya akan memakai karya Maestro batik yg saya kagumi Iwan Tirta. Yah karena memang saya dari dulu hobbynya jalan-jalan keliling dunia, pasti gayung bersambut apalagi waktunya cocok. Sebelum saya berangkat ke Cirebon bersama para peserta yang ikutan, saya coba pelajari betul bagaimana kota Cirebon dengan objek wisata dan makanan khas yg terkenal disana, walaupun ini adalah kunjungan saya yang ke dua kalinya, setelah dulu saya pernah mengajak pendengar Radio Female dalam acara Club Weekend. Satu hal yg paling special adalah keingin-tahuan saya yang sangat besar tentang judul acara yang dipersembahkan Gelar bersama Iwan Tirta, yaitu Opera Tanding Gending. Sepertinya kok kurang funky ya buat anak muda, tapi saya tidak mau berburuk sangka dulu kalau kita tidak menyempatkan untuk mengetahui lebih jauh apa sih dibalik acara itu, apa sih bagusnya, kesannya kok kuno banget ya dan jangan2 suguhan orang tua yg bikin kita boring melihatnya..hehe...Alhamdulillah saya mensyukuri dengan pekerjaan saya menjadi Penyiar Radio, sehingga memungkinkan untuk saya punya persiapan yang cukup untuk mengetahui apa yg ingin dikemas pada suguhan ke Cirebon nantinya. Saya mendapat banyak informasi mulai buku indah Retrospeksi Iwan Tirta Opera Tanding Gending yang lama dari Ella Suud, kemudian browsing internet mencari info apapun yg terkait, mendapatkan masukan dari Mas Bram Kushardjanto dan Mba Kumoratih selaku Producer Gelar, sampai kepada Mas Iwan Tirta sendiri yang langsung saya ajak ngobrol baik lewat siaran atau ketemu langsung sewaktu di Cirebon bersama para penari kwalitas kelas 1 di Indonesia yang hebat dan luar biasa juga Wasi Bantolo, koreografer, sutradara dan penulis naskah Tanding Gending untuk melengkapi data.
Jadi begini nih oleh-oleh cerita selama 3 hari di Cirebon :
Jum’at, 24 Agustus 2007
Jam 4 sore saya bersama Suami dan anak saya Kevin yang ikut mengantar, menjadi peserta pertama yang sudah datang duluan di Stasiun Gambir, juga bersama Producer andalan saya siaran di sore hari Erika Siregar. Satu persatu berdatangan para peserta dan panitia Gelar.Wah ramai juga ya hampir sekitar 50 orang yang ikut bergabung dan panitia sudah memesan tempat khusus dalam satu gerbong Eksekutif 5 Kereta Argo Jati. Semula dijadwalkan kereta akan berangkat jam 17.10 WIB, tapi biasalah Republik ini sudah memaklumkan jam karet, yang sebetulnya membuat kita jengkel dan tidak Profesional. Bayangkan saja kita menunggu berdiri dengan space terbatas,begitu banyak orang berdiri tanpa disediakan bangku, sementara lama pula kita menunggu berdiri dari jam 16.45 sampai sekitar 17.30, jadi praktis kereta terlambat 20 menit. Untung saya ditemani anak saya yang begitu senang melihat kereta beberapa yang lewat sambil ngobrol dan kenalan dengan sebagian peserta.
Dear All,
Suatu waktu saya ditawari tugas untuk menemani pendengar Radio Delta dalam suatu acara khusus Cultural Trip ke Cirebon sambil nonton sajian tari klasik jawa dimana baju-baju penarinya akan memakai karya Maestro batik yg saya kagumi Iwan Tirta. Yah karena memang saya dari dulu hobbynya jalan-jalan keliling dunia, pasti gayung bersambut apalagi waktunya cocok. Sebelum saya berangkat ke Cirebon bersama para peserta yang ikutan, saya coba pelajari betul bagaimana kota Cirebon dengan objek wisata dan makanan khas yg terkenal disana, walaupun ini adalah kunjungan saya yang ke dua kalinya, setelah dulu saya pernah mengajak pendengar Radio Female dalam acara Club Weekend. Satu hal yg paling special adalah keingin-tahuan saya yang sangat besar tentang judul acara yang dipersembahkan Gelar bersama Iwan Tirta, yaitu Opera Tanding Gending. Sepertinya kok kurang funky ya buat anak muda, tapi saya tidak mau berburuk sangka dulu kalau kita tidak menyempatkan untuk mengetahui lebih jauh apa sih dibalik acara itu, apa sih bagusnya, kesannya kok kuno banget ya dan jangan2 suguhan orang tua yg bikin kita boring melihatnya..hehe...Alhamdulillah saya mensyukuri dengan pekerjaan saya menjadi Penyiar Radio, sehingga memungkinkan untuk saya punya persiapan yang cukup untuk mengetahui apa yg ingin dikemas pada suguhan ke Cirebon nantinya. Saya mendapat banyak informasi mulai buku indah Retrospeksi Iwan Tirta Opera Tanding Gending yang lama dari Ella Suud, kemudian browsing internet mencari info apapun yg terkait, mendapatkan masukan dari Mas Bram Kushardjanto dan Mba Kumoratih selaku Producer Gelar, sampai kepada Mas Iwan Tirta sendiri yang langsung saya ajak ngobrol baik lewat siaran atau ketemu langsung sewaktu di Cirebon bersama para penari kwalitas kelas 1 di Indonesia yang hebat dan luar biasa juga Wasi Bantolo, koreografer, sutradara dan penulis naskah Tanding Gending untuk melengkapi data.
Jadi begini nih oleh-oleh cerita selama 3 hari di Cirebon :
Jum’at, 24 Agustus 2007
Jam 4 sore saya bersama Suami dan anak saya Kevin yang ikut mengantar, menjadi peserta pertama yang sudah datang duluan di Stasiun Gambir, juga bersama Producer andalan saya siaran di sore hari Erika Siregar. Satu persatu berdatangan para peserta dan panitia Gelar.Wah ramai juga ya hampir sekitar 50 orang yang ikut bergabung dan panitia sudah memesan tempat khusus dalam satu gerbong Eksekutif 5 Kereta Argo Jati. Semula dijadwalkan kereta akan berangkat jam 17.10 WIB, tapi biasalah Republik ini sudah memaklumkan jam karet, yang sebetulnya membuat kita jengkel dan tidak Profesional. Bayangkan saja kita menunggu berdiri dengan space terbatas,begitu banyak orang berdiri tanpa disediakan bangku, sementara lama pula kita menunggu berdiri dari jam 16.45 sampai sekitar 17.30, jadi praktis kereta terlambat 20 menit. Untung saya ditemani anak saya yang begitu senang melihat kereta beberapa yang lewat sambil ngobrol dan kenalan dengan sebagian peserta.
Prihatin juga ya dengan kondisi stasiun kita, kelihatan kurang perawatan dan tidak diperbaharui agar para penumpang bisa nyaman menunggu, padahal kan di Jakarta gitu loh...masa sih kita ngga bisa buat cantik stasiun kita, wah bagaimana kereta api nya ya..hehe..Yah akhirnya kadang saya harus liat sisi positifnya sajalah, yang penting keamanan bisa terjamin dan keselamatan juga menjadi faktor penting. Jadi sebelum berangkat saya berdoa untuk keselamatan kita semua, apalagi miris juga kan kita dengar berita-berita terakhir, adanya perampokan rel kereta api lah yang digergaji, tabrakan kereta api, atau ada yg terjungkal..walah...semua itu sebetulnya kita mau belajar ngga ya dari kesalahan sebelumnya dan mau membenahi serta mau menjaga nya dengan baik seperti kita merasa memilikinya sendiri.
Ngga lama kemudian kereta berangkat sambil saya dadah dadah say goodbye dengan anak saya Kevin, suster dan supir setia Pak Darto partner kami dirumah. Saya coba membiasakan anak saya tahu bahwa Ayah Ibunya bertugas dan anak bisa mengantar tanpa harus bersedih dan dia bisa tahu bagaimana keadaan Stasiun kereta api kita di Gambir.
Lega deh sudah bisa duduk bersama para peserta dalam satu gerbong, berhubung sudah masuk malam kita tidak banyak bersuara, selain lampu terbatas menyala kecil dan diluar kereta sangat gelap kecuali lampu-lampu rumah yg terlihat diluar kaca. Sebagian besar peserta memanfaatkan dengan tidur istirahat, panitia sempat membagikan nasi kotak isi rendang dan dari Argo jati kita dapat gratis kotak berisi Aqua gelas dan roti 1 buah. Alhamdulillah bisa buat ganjel perut yang belum sempat terisi dari siang tadi karena sibuk dengan pekerjaan macam2 sebelum bepergian. Saya dan Erika berkoordinasi untuk melakukan liputan laporan perjalanan untuk 4 Radio sekaligus Delta dan Female Jakarta dan Bandung. Saya nikmati betul perjalanan di kereta Argo Jati sambil ngobrol dengan Suami dan menikmati lagu2 enak yg tersedia di Ipod yang saya bawa. Lumayan AC nya cukup dingin, untung saya membawa jacket yang tidak terlalu tebal. Biarpun lelah saya belum bisa tidur, karena memang saya tidak terbiasa tidur di siang atau sore hari. Lumayan juga tidak terlalu lama perjalanan, yah sekitar 3 jam begitulah kita sampai jam 19.30 an di stasiun Kejaksan Cirebon.
Terlihat disisi sepanjang stasiun banyak plang warung tempat menjual Empal Gentong, tapi sudah tutup. Hmm..mengundang perut untuk ingin mencoba hehe..
Setelah para peserta berkumpul disatu tempat diluar stasiun, bergantian dibagi dalam beberapa rombongan kita menuju Hotel Prima yang hanya menempuh waktu sekitar 5 menit saja, paling enak sih naik becak ya, saran pak supir lebih bagus bisa ngobrol dalam bahasa jawa Cirebon, pasti dimurahin deh kalau naik becak hanya Rp.3.000,- tapi kalau nda bisa bahasanya yah ikhlas aja deh diminta Rp.15.000,- hehe kita sangka jauh padahal deket banget.
Hotel Prima letaknya di jalan Siliwangi tidak jauh dari stasiun Kejaksan. Malam itu terlihat oleh saya kota Cirebon begitu bersih dan tidak macet seperti Jakarta.
Sedikit tentang Cirebon, kota ini berada dipesisir Laut Jawa, di jalur pantura. Dahulu Cirebon merupakan ibukota kabupaten Cirebon, namun kini telah dipindahkan ke Sumber. Cirebon menjadi pusat regional di wilayah pesisir timur Jawa Barat. Cirebon dikenal sebagai Kota Udang. Jadi mesti merasakan udangnya nih...
Sebagai daerah pertemuan budaya jawa dan sunda sejak berabad silam, masyarakat Cirebon biasa menggunakan dua bahasa Sunda dan Jawa.
Kota ini mempunyai luas sebesar 37,36 km2 dan penduduknya berjumlah sekitar 300.000 jiwa. Kota Cirebon merupakan pusat industri rokok kepunyaan British American Tobacco(BAT), salah satu produsen rokok putih terkemuka di dunia.
Setelah check in Hotel, mendapat kunci kamar lumayan kita bisa istirahat sejenak selama 1 jam untuk mandi dan beberes, jam 10 malam kita diajak untuk melihat kota Cirebon di malam hari sambil menikmati Nasi Lengko khas Cirebon dan minum teh poci hangat yang segar plus gula batu yang tidak terlalu manis.
Nasi Lengko/Sega Lengko itu makanan khas yang sederhana yang banyak serat dan protein dan rendah kalori. Jadi no problem lah sekali2 makan berat dimalam hari hehe.. Nasi putih yang panas, ada potongan tempe goreng, tahu goreng, irisan mentimun yang segar dan dicacah, tauge yg direbus, daun kucai yang dipotong kecil2, disiram bumbu kacang yang sedap tinggal selera mau pedas atau tidak dan sedikit kecap manis dan ditaburi bawang goreng yang renyah..Hmmm lezaaat ditanggung Mak Nyuuus tenan..enak banget apalagi kalau sudah lapar..nambah lagi deh hehe..Cuma kalau ngga mau pedas harus order khusus sama pembuatnya supaya tidak pakai cabe. Dan menambah selera makan ada Krupuk rumput teki yg uenaaaak banget gurihnya itu lho pas ngga berlebihan dan kriuk2 enak, makan 1 pasti kurang, soalnya krupuknya kan kecil2 banget. Biasanya sih padanan nasi Lengko tuh sate kambing, tapi saya ngga tahu kok ngga ada ya...
Yah segitu juga enak kok..kita makan sama semua peserta sambil asyik ngobrol dan merumpi, apalagi kemudian saya bisa ketemu dengan teman lama yang ramai
banget kalau ngobrol, Sonny Muchlison dan Taruna Kusmayadi designer cukup ternama yang sekarang aktif juga sebagai pengajar IKJ. Seneng aja bisa menambah pengetahuan dari para peserta sambil tertawa mendengar lelucon atau gurauan Sonny yang heboh hehe...
Sabtu, 25 Agustus 2007
Pagi hari para peserta sudah menikmati hidangan breakfast Hotel Prima yang cukup lengkap, mulai dari bubur ayam, roti dan kue2, nasi goreng, laksa, mie goreng,
Sosis, telur dadar/omelet sesuai dengan keinginan, berbagai juice, teh kopi dll. Saya suka sekali menikmati sarapan pagi di Hotel dimanapun, kalau sudah begitu rasanya benar-benar kita sedang menikmati liburan lepas dari rutinitas harian hehe...Sesekali saya berkeliling dari satu meja ke meja lain para peserta, menanyakan bagaimana kabar semalam enak tidurnya, kepingin memburu apa di kota Cirebon dll, sambil saya memberikan laporan pandangan mata untuk radio plus mencatat hal-hal yang perlu masukan dari para peserta yang sempat bercerita kepada saya.
KERATON KASEPUHAN
Jam 9 Bis sudah siap menunggu untuk segera membawa kita ke Keraton Kasepuhan, senangnya lagi ternyata Mas Iwan Tirta ikut mendampingi para peserta untuk bisa berbagi pengalaman dan cerita menarik beliau mulai dari Siti Hinggil gerbang awal keraton tempat bertemunya Sultan dengan keluarga dan para abdi dalem dan penasehatnya. Siti Hinggil artinya tanah yang ditinggikan, ada 5 bangunan semacam pendopo yang mengisyaratkan pada artian yg berhubungan dengan Islam.
Keraton dan sekelilingnya luasnya sekitar 25 hektar.
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochamad Arifin II ( cicit dari Sunan Gunung Jati ) yang menggantikan tahta SG pada tahun 1506, beliau bersemayamkan di Dalam Agung Pakungwati Cirebon.
Keraton Kasepuhan dahulu bernama Keraton Pakungwati I, adapun sebutan Pakungwati berasal dari nama Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri yang cantik yang bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami baik di bidang Islamiyah. Pembina negara maupun pengayom yang menyayangi rakyat. Akhirnya beliau wafat pada tahun 1549, pada saat memadamkan kebakaran yang terjadi didalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, dari tindakan pengorbanannya akhirnya nama beliau dimulyakan oleh Sunan Gunung Jati, sebagai nama keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang disebut Keraton Kasepuhan.
Banyak pengetahuan yang bagus yang diberikan langsung oleh Mas Iwan Tirta baik selama berjalan2 sekeliling Keraton maupun duduk lesehan didalam Keraton Kasepuhan, diantaranya Mas Iwan cerita kalau saya tidak salah tangkap, tentang nanti malam tari kanoman yang akan kita saksikan mahkota yg dipakai penari adalah copy dari bentuk asli dari Keraton Kasepuhan yang diizinkan Mangkunegoro 7 boleh dipakai untuk ageman hiasan kepala penari.
Masih banyak lagi Mas Iwan Tirta cerita Koleksi wayang kulit, juga batik wadasan yang warna dasarnya gading adalah batik keraton.
Juga tentang Batik dan Tari, hubungan antara keduanya tidak bisa lepas satu dengan lainnya. Didalam khasanah kesenian jawa terlebih lagi. Batik tidak semata-mata menjadi kostum yang nantinya memperindah sebuah koreografi. Namun lebih dari itu, ia turut menjadi nyawa didalam setiap bentuk tari. Karakterisasi dalam setiap penari, setiap tokoh yang dibawakan dan seterusnya, akan tampak jelas nanti melalui corak batik yang ada di tubuh setiap karakter.
Mas Iwan Tirta juga menambahkan bahwa, Batik adalah sebuah ekspresi kebudayaan dari Bangsa Indonesia. Ia merupakan identitas bagi siapapun yang memakainya. Adalah sangat disayangkan apabila batik dianggap busana semata. Oleh karena itu beliau ingin meletakkan kembali posisi Batik kedalam konteks kebudaannya.
Makanya saya juga penasaran ingin segera melihat pergelaran Opera Tanding Gending ini nanti malam diantaranya ada Tari Srimpi/bedoyo dan Opera Jawa yang merupakan warisan tradisi yang kini sudah langka dan nyaris mengalami kepunahan, sehingga kita bisa melihat keindahan batik yang lebih bersinar, dalam balutan suasana budaya yang melekat.
Setelah kita ngobrol berdiskusi dengan Mas Iwan Tirta, kembali kita diajak berkeliling seputar Keraton, melihat kereta kencana dan copy kereta kencana yang juga tersimpan dibelakang ruangan khusus, kita juga diajak ke satu sumur yang airnya bisa membuat kita awet muda, lebih muda 7 tahun hahaha.
Yah namanya juga udaranya lagi panas, sekedar menyegarkan wajah dan membasuh tangan dan kaki, terutama para wanita semua ikut masuk.
Apalagi Erika semangat betul tuh, kalau bisa mau juga tuh Erika nyemplung ke sumur yang tidak terlalu dalam, biar jadi bayi kale...hehehe...
Keluar dari Keraton..wah asyik nih banyak peserta yang kepincut sama tukang mangga yang jual pakai dorongan. Harganya murah pula, 1 kg nya sekitar Rp.8.000,-
Jadilah saya beli 5 kg dan dengan senang hati Sonny Muchlison mengiriskan potongan mangga untuk saya dan teman2 dalam sebuah mangkuk, lumayan buat cemilan di bis dan mangga nya enak banget mangga muda manis dan mengkal. Kapan2 kalau ke Cirebon, jangan lupa merasakan Mangga Cirebon ngga nyesel deh..hehe..
MESJID AGUNG SANG CIPTA RASA
Tidak jauh dari Keraton Kasepuhan terdapat Mesjid Agung Sang Cipta Rasa, kita pun mampir disini.
Mesjid Agung ini terletak disebelah barat alun-alun Kasepuhan. Mesjid ini punya arti Sang : Keagungan, Cipta : dibangun, Rasa : digunakan.
Untuk memasuki bagian dalam mesjid terdapat 9 pintu, yang melambangkan Wali Songo, didalamnya terdapat tiang yang disebut Soko Guru, serta sebelah tenggara terdapat satu buah tiang yang dibuat dari potongan kayu yang disebut Soko Tatal yang konon dibuat oleh Sunan Kalijaga.
Pada bagian Mighrab terdapat ukiran yang menempel berbentuk bunga teratai yang dibuat oleh Sunan Kalijaga, sedangkan tiga buah ubin yang diberi tanda khusus merupakan symbol ajaran agama Islam yakni Iman, Islam dan Ihsan yang menurut tradisi ubin tersebut dipasang oleh Sunan Gunung Jati, Sunan Bonang dan Sunan Kalijaga serta didirikannya Mesjid tersebut.
Diluar Mesjid banyak berderet para penjaja makanan khas Cirebon. Tapi kita tidak membeli karena bis akan segera mengunjungi tujuan wisata selanjutnya ke Taman Air Sunyaragi.
TAMAN SARI GUA SUNYARAGI
Taman Air Gua Sunyaragi merupakan situs peninggalan sejarah yang banyak diminati para wisatawan. Letaknya 5 km kearah barat dari jantung kota Cirebon, tepatnya dikelurahan Graksan, terhampar areal bangunan yang unik. Areal bangunan ini dikenal sebagai Tamansari Gua Sunyaragi. Petilasan dengan arsitektur estetik bernilai historis, serta mengungkap nilai-nilai spiritual yang merupakan salah satu warisan budaya masa lalu yang terdapat di wilayah Cirebon.
Pembangunan ini dilakukan tahun 1730, sedangkan gagasannya berasal dari benak Patih Keraton Kasepuhan yang bernama Pangeran Arya Cirebon. Tokoh ini dikenal sebagai peminat sejarah dan kebudayaan. Karya legendaris lainnya yaitu Kitab Sejarah “Purwaka Caruban” yang berhasil disusunnya pada tahun 1720. Sunya berarti sepi, dan Raga atau ragi berarti jasmani. Nama petilasan ini memang mengungkapkan fungsinya yaitu sebagai tempat peristirahatan para Sultan dari Keraton Kasepuhan dan keluarganya. Disamping itu Tamansari Gua Sunyaragi itu merupakan kompleks bangunan kuno yang apabila dibagi-bagi akan terdapat 12 bangunan inti dan 1 bangunan tambahan yaitu Gua Pengawal, Gua Pande Kemasan, Gua Simayang, Bangsal Jinem, Gua Pawon, Mande Beling, Gua Lawa, Gua Padang Ati, Gua Kelanggenan, Gua Peteng, Bale Kambang dan Gua Arga Jumut.
Sayang sekali ketika kami kesana kita sangat prihatin dengan bangunan disana tampak kurang terawat dan rumput liar yang tumbuh tidak dibersihkan. Dengan cuaca yang sangat panas siang itu membuat kita kurang bersemangat melihat pemandangan yang ada disana. Belum lagi areal didepan Tamansari Gua Sunyaragi yg kelihatan habis terbakar belum sepenuhnya dibersihkan dan rencana nya mau diapakan lagi, sehingga terlihat kumuh dan kurang sedap dipandang mata, sayang ya...
Makan siang di Resto “ Pesona Alam Sea Food “ Mundu
Setelah cukup penat kita berkeliling ke beberapa tempat objek wisata pagi ini, baru terasa lagi perut minta diisi alias lapar deh...
Pilihan panitia adalah makan siang di Resto Alam Sea Food di Mundu. Saya terus terang tidak konsentrasi dengan apa yang disuguhkan, jadi apapun makanan yang tersedia kami nikmati saja, makanan nya sih menurut saya tidak begitu istimewa lumayan lah untuk mengganjal perut, mungkin agak berbeda dari Wisata Kulinernya Mas Bondan Winarno, biasanya tempat yg direkomendasikan pasti ada cerita dibalik pemilihan tempat terutama soal makanannya. Es kelapa muda tambahan yang kami pesan juga rasanya biasa banget. Jadi kalau saya bilang sih makanan nya lumayan saja, enaknya ya biasa-biasa saja kok. Pada kesempatan waktu kosong sebelum kita berangkat lagi menuju Makan Sunan Gunung Jati, saya coba manfaatkan dengan perkenalan seluruh peserta jalan-jalan ke Cirebon ini. Seru deh kita jadi tahu apa motifasi masing-masing ikut ke Cirebon dan tahu namanya, juga aktifitasnya apa. Semua rata-rata yang ikut karena memang punya minat yang besar dalam hal budaya dan ingin mengetahui suguhan nanti malam Opera Klasik Jawa Iwan Tirta dan tentunya mereka semua banyak pendengar Delta Sore yang ingin jalan-jalan bersama saya karena katanya kalau saya cerita soal jalan-jalan dan makan-makan rasanya enaaaak banget...Hahaha..jadi ikut terpengaruh ...hehehe..
Dan ceritapun tambah seru ketika 15 menit bis sudah melaju menuju Astana Gunung Jati, rupanya salah satu peserta dari IKJ merasa kehilangan rekannya yaitu Sonny Muchlison, ini karena panitia lupa membacakan absensi. Ya supirpun balik lagi menuju resto untuk menjemput Sonny yang lagi manyun diantara para supir dan tukang parkir disisi jalan dekat resto. Rupanya Sonny ketinggalan karena dia ke toilet dulu, habislah diledekin sama para peserta semua, habis sih kamu kecentilan pakai mascara dan lipstik lama banget..hehe..yang diledekin juga justru menimpali dengan gurauan yg membuat kita selalu tertawa...hehehe..
ASTANA GUNUNG JATI
Sampailah kita di Komplek Makam Sunan Gunung Jati yang dikenal dengan nama Astana yang disekelilingnya dipenuhi kuburan kerabat Keraton 3 Kasunanan.
Pusara Gunung Jati berada di puncak Gunung Sembung, didalam sebuah ruang beratap Limas dengan memolo kecil yang dikelilingi oleh Batu Mutu Manikam yang bernilai tinggi seperti Zamrud, Batu Giok, Intan Blue Safir dan batu mulia lainnya. Adapun ruang pesarean ( makam ) terdapat pula makam yang lain diantaranya Pangeran Cakrabuana, Nyi Mas Pakungwati, Ki Gede Mayung dan Putri Ong Tien yang merupakan salah satu istri dari Sunan Gunung Jati.
Terus terang sih waktu bis masuk ke area parkiran Komplek Makam Sunan Gunung Jati, keadaanya sangat semrawut, mungkin karena banyak sekali para peziarah yang datang sebelum masuk bulan Ramadhan. Belum lagi yang memprihatinkan adalah banyak nya preman cilik yang memaksa meminta-minta kepada para peziarah yang membuat kita gerah dan enggan masuk lebih lama. Semua tumpah ruah dengan segala hiruk pikuk orang berjualan macam-macam, mulai dari warung nasi lengko, makanan jajanan untuk oleh-oleh..wah banyak deh. Kita pun tidak terlalu lama mengunjungi Makam Sunan Gunung Jati karena nampaknya peserta ingin mampir jalan-jalan ke sebuah pasar tradisional di Cirebon. Hasilnya adalah kita sempat mampir kesebuah toko batik “Linas Batik Cirebonan “ bertemu langsung dengan Ibu Indrawati pemiliknya, di jalan Kanoman 54, Tilp 0231 203 302, didalam rumahnya juga terdapat banyak para pekerja pembuat batik, dan membeli oleh-oleh di Sinta Manisan yang letaknya di Jalan Lemahwungkuk no.37 Cirebon, segala apapun ada disana mulai manisan, kripik yang enak2, kecap, sirop, terasi, abon dll semua yang khas dari Cirebon. Saya dan peserta jadi keasyikan pilih ini itu, sampai kemudian saya berfikir malas lah ya bawa oleh2 secara naik kereta api gitu loh...jadi saya pesan untuk bisa dikirim melalui paket kilat, harganya murah kok untuk 1 box besar cukup membayar harga kiriman sebesar Rp.40.000,- Ngga repot kan, toh sampai di jakarta barang juga bisa cepat sampai dirumah tanpa harus berat menenteng dan repot di kereta nantinya, maklum biasalah titipan teman-teman sekantor cukup banyak hehe. Simple kaan!!
Segera sore itu kita ke hotel untuk istirahat dan mempersiapkan diri untuk makan malam khas bangsawan dan menyaksikan opera klasik jawa yang kita tunggu2.
Pergelaran Retrospeksi Iwan Tirta “Tanding Gendhing”
Malam ini saya bersama Suami tercinta sengaja memakai gaun malam khusus batik dari Milo Bali yang seirama dengan kemeja batik Suami saya, karena selain kita ingin menyaksikan opera, menjadi hari yang khusus buat kita berdua karena kita ingin makan malam merayakan 7 tahun perkawinan. Ada yang beberapa teman yang tahu sempat mengucapkan selamat langsung maupun lewat sms..hehe lucu juga senang aja ada yang mengucapkan selamat, semoga doa kami kita terus diberi kelanggengan dan jadi pasangan yg saling mencintai dan bertanggung jawab dalam hidup untuk bermanfaat.Amin.
Sebelum kita semua menyaksikan acara yang jadi tujuan utama kita, saya kembali disibukkan dengan membuat berbagai laporan untuk 4 radio sekaligus jakarta dan Bandung. Mulai dari wawancara langsung live dengan Mas Iwan Tirta, persiapan para peserta dan obrolan dengan panitia, untunglah karena saat itu sebelum nonton kami semua yang hadir di Ballroom Hotel Prima menikmati santap malam special ala bangsawan mulai dari Empal Gentong dan makanan enak lainnya. Berhubung saya sibuk dalam membuat laporan liputan ke radio jadi saya kembali tidak fokus menikmati sajian makan malam.
Pergelaranpun dimulai,tidak sebagaimana biasanya sebuah peragaan adibusana yang menggunakan para model yang berjalan di atas catwalk, koleksi batik klasik Iwan Tirta diperagakan oleh para penari klasik tradisional Jawa melalui sebuah opera klasik tradisi yang juga merupakan mahakarya dari para maestro seni pertunjukan klasik tradisional Jawa warisan masa lampau.Opera klasik Jawa ini mengambil cuplikan dari kisah pewayangan epik Mahabharata ini tak lepas dari sentuhan para pekerja seni klasik tradisional yang handal di bidangnya masing-masing : koreografer, komposer, dan musisi. Juga didukung profesional dalam dunia desain dan seni pertunjukan mulai dari produser, stage manager, stage & lighting designer, graphic designer, fotografer, dan masih banyak lagi. Mereka memiliki kesamaan hasrat untuk dapat mengeksplorasi kekayaan tradisi - yang kini kian langka dipergelarkan - melalui karya-karya Iwan Tirta yang terinspirasi dari warisan tradisi. Dalam tradisi Jawa, satu bentuk seni terkait dengan bentuk seni lainnya.
Batik, wayang, keris. Ketiganya tak terpisahkan, dan merupakan sebuah totalitas antara seni rupa dan seni pertunjukanFormat opera (dalam bahasa Jawa biasa disebut dengan langendriyan) seperti ini, menuntut kemampuan teknik yang sangat tinggi meliputi tari, olah vokal dan kemampuan akting. Dialog akan dilantunkan dalam bentuk tembang (lagu) sehingga tentunya juga menuntut teknik vokal yang prima dari para penari. Di sisi lain, pemilihan penari dilakukan melalui proses audisi yang ketat. Selain memiliki kemampuan teknis yang prima, mereka pun harus memiliki postur tubuh yang cocok untuk memperagakan adibusana dan kain batik klasik Iwan Tirta. Ditarikan oleh 7 orang penari laki-laki dan 2 orang penari perempuan, koreografi ini akan diiringi oleh orkestrasi gamelan dengan komposisi musik yang diolah dari repertoire klasik tradisional Jawa. Koreografi dan sekaligus penyutradaraanTanding Gendhing ini digarap oleh Wasi Bantolo, koreografer muda berbakat yang selama dua tahun terakhir mengajar sebagai visiting Professor di University of Michigan dan University of Wisconsin, Amerika Serikat. Untuk penataan musik, digarap oleh komposer karawitan senior, Blacius Subono. Keindahan kain batik klasik koleksi Iwan Tirta ini akan diperkuat dengan keindahan keris koleksi Haryono Haryoguritno dan Museum Pusaka. Dimana, setiap keris yang dipamerkan sebagai properti setiap penari disesuaikan dengan penokohan / karakter. Penampilan opera ini juga tidak terlepas dari peran Ibu KRAy. Maktal Dirdjodiningrat selaku pakar busana tradisional Jawa khususnya dari Keraton Surakarta.
"TANDING GENDHING" Sebuah Interpretasi Terhadap Tema Anti -War
Opera klasik Jawa bertajuk "Tanding Gendhing" ini merupakan rangkuman kisah hidup Wangsa Bharata dalam epik Mahabharata. Dengan mengetengahkan tokoh-tokoh sentral yaitu : Kresna, Sengkuni, Duryudana, Bima, Arjuna, Karna, Bisma, Kunthi dan Gendari, kisah yang mengambil setting masa pra Bharatayudha ini akan mengangkat konflik kehidupan yang ada di antara keluarga Pandawa dan Kurawa. Meski lakon ini berujung pada perang Bharatayudha, namun penggarapan naskah/skenario diinterpretasi ulang dengan semangat anti-war yang akan terekspresikan dalam dialog diplomasi antara tokoh Kresna sebagai negosiator dari pihak Pandawa, dan Sengkuni dari pihak Kurawa. "Tanding Gendhing" akan digarap dengan gaya bedhayan yang minimalis, namun sarat dengan simbol-simbol. Selain ke-sembilan penari tersebut memerankan karakter tokoh tertentu, dalam saat yang bersamaan sangat dimungkinkan dapat melebur dan beralih fungsi untuk memperkuat suasana maupun menarikan simbolisasi cerita.
Latar Belakang Konsep Garapan Langendriyan adalah salah satu bentuk teater tari tradisional yang memiliki posisi penting pada masanya. Langendriyan diciptakan pada masa abad ke 18 di Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Raden Mas Haria Tandakusuma, menantu dari Mangkunegara IV (1853-1881) menciptakan versi Surakarta, sementara Raden Tumenggung Purwadiningrat dan Pangeran Mangkubumi menciptakan versi Yogyakarta (1876). Langendriyan diiringi dengan orkestra gamelan, dimana dialog para pemain menggunakan tembang. Langendriyan memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga menuntut kemampuan yang prima dari seniman pendukungnya, mulai dari olah tari, vokal hingga kemampuan teater. Bentuk tarian pria berangkat dari bentuk Wireng (tarian perang), salah satu jenis tari yang lazim di Kasunanan Surakarta, yang mana hanya ditarikan oleh pria. Wireng memiliki jenis dan ragam yang bermacam-macam, namun secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu wireng beksan dugangan seperti tari Bandabaya, dan wireng beksan alusan seperti tari Dhadap Karno Tinanding. Wireng sudah mulai jarang ditarikan, dan kini dapat disebut sebagai salah satu bentuk tarian yang langka.
Wah benar-benar luar biasa deh kami bisa menyaksikan acara itu, salut buat Mas Iwan tirta dan seluruh pendukung acara serta Mas Bram dan Mba Ratih selaku producer acara tersebut. Saya dan Suami sampai tidak berkedip dan kaguum sekali dengan sajian yang belum pernah saya saksikan sebelumnya, begitu indah sampai saya mencucurkan air mata, ketika saya mendengar alunan suara nyanyian dari Kunthi dan Gendhari, yang saya baru tahu salah satunya adalah wanita Korea yang belajar khusus tari jawa mendalami selama 4 tahun di Jogja, cengkoknya bagus betul. Belum lagi mereka semua bisa menari, sekaligus menyanyi, total ekspresif dengan berbagai karakter yang mampu dilakukan secara sempurna, dengan koreografi yang sangat indah. Persis saya melihat opra di Broadway New York atau di London, Cuma bedanya ini adalah persembahan klasik jawa. Sungguh kalaupun saya tidak mengerti bahasa jawapun saya bisa menikmatinya, apalagi dipandu dengan slide besar disamping panggung, sehingga kita mengerti jalan cerita dari yang kita tonton. Saya dan kami semua langsung memberikan tepuk tangan riuh untuk sajian yang luar biasa mulai dari Serimpi dan Bedhoyo Klasik Jawa, Ngadi Busono kita bisa melihat langsung maaf kalau saya tidak salah, seorang yang ahli memakai kan kain dengan jenis Kampuhan Pradan motif semen gede dengan lapis 24 karat. Kain ini panjang sekali sekitar 7 m, dengan cepat bisa melilit indah dan rapih di tubuh Kresna.
Wah benar-benar luar biasa deh kami bisa menyaksikan acara itu, salut buat Mas Iwan tirta dan seluruh pendukung acara serta Mas Bram dan Mba Ratih selaku producer acara tersebut. Saya dan Suami sampai tidak berkedip dan kaguum sekali dengan sajian yang belum pernah saya saksikan sebelumnya, begitu indah sampai saya mencucurkan air mata, ketika saya mendengar alunan suara nyanyian dari Kunthi dan Gendhari, yang saya baru tahu salah satunya adalah wanita Korea yang belajar khusus tari jawa mendalami selama 4 tahun di Jogja, cengkoknya bagus betul. Belum lagi mereka semua bisa menari, sekaligus menyanyi, total ekspresif dengan berbagai karakter yang mampu dilakukan secara sempurna, dengan koreografi yang sangat indah. Persis saya melihat opra di Broadway New York atau di London, Cuma bedanya ini adalah persembahan klasik jawa. Sungguh kalaupun saya tidak mengerti bahasa jawapun saya bisa menikmatinya, apalagi dipandu dengan slide besar disamping panggung, sehingga kita mengerti jalan cerita dari yang kita tonton. Saya dan kami semua langsung memberikan tepuk tangan riuh untuk sajian yang luar biasa mulai dari Serimpi dan Bedhoyo Klasik Jawa, Ngadi Busono kita bisa melihat langsung maaf kalau saya tidak salah, seorang yang ahli memakai kan kain dengan jenis Kampuhan Pradan motif semen gede dengan lapis 24 karat. Kain ini panjang sekali sekitar 7 m, dengan cepat bisa melilit indah dan rapih di tubuh Kresna.
Ditambah kalung perak mata hitam dan seluruh asesoris terbuat dari emas asli memkai kembang goyang dan Keris Ladrang Ksatrian Kacir Bener dan Gembyok melati dari koleksi Museum Pusaka TMII. Indah sekali. Hingga tari laki-laki yang penuh ksatria sungguh sangat mempesona, ngga kalah deh sama tarian modern yang jojing-jojing bejingkrakan begitu. Malah ini lebih special karena begitu sakral, yang sampai-sampai saya baru tahu dari Mas Bram bahwa tidak mudah untuk betul2 menjadi penari profesional yang bisa menarikan tarian yang begitu langka, makanya jumlahnya sangat sedikit. Hebat-hebat.
Selesai pergelaran kita pun semua para penonton di Ballroom diberi kesempatan untuk menyaksikan secara langsung batik-batik yang digunakan oleh para penari yang diciptakan khusus Mas Iwan Tirta diacara ini untuk bisa mengingatkan kita akan kekayaan budaya Indonesia yang seringkali terbaikan.
Saya bangga dan salut buat Mas Iwan Tirta dan kawan2 dari Gelar yang masih menyisihkan waktu untuk peduli akan semua ini. Terimakasih, ini pasti kerja keras dan proses kreatif yang tidak main-main.
Setelah usai kita berlama-lama dipanggung diskusi dan berfoto bersama para penari, Mas Iwan Tirta dan para pengunjung. Belum lelah saya dan suami segera mengajak Erika dan beberapa peserta Cultural Trip untuk kongkow lagi di Cofee Shop menikmatu susu coklat panas dan makanan ringan sambil ngobrol dengan Mas Bram dan Mba Ratih sampai tengah malam mendiskusikan pertunjukan dan apapun dibalik opera yang indah itu. Sampai-sampai para peserta sepakat kalau saya bersama Delta akan membuat acara lagi bersama Gelar pasti mereka mau ikut lagi, karena banyak yang puas baru 2 hari ini hehe..wah ngga terasa ya besok tinggal sehari lagi kita bertemu lewat tour ini, karena malam ini kita kembali beristirahat, besok mau ke Trusmi, makan nasi jamblang dan pulang deh.
Minggu, 26 Agustus 2007
Segera setelah kami semua beberes barang bawaan dan menikmati sarapan pagi di Hotel Prima, kamipun terutama para wanita tidak sabar ingin segera sampai, berbelanja batik di daerah Trusmi. Bagi kolektor batik, nama desa Trusmi Wetan dan Trusmi Kulon, Kecamatan Weru, Cirebon tak dapat dipinggirkan. Desa yang terletak sekitar lima kilometer dari pusat kota ini sejak puluhan tahun lalu telah menjadi sentra bisnis batik.
Kisah membatik desa Trusmi berawal dari peranan Ki Gede Trusmi. Salah seorang pengikut setia Sunan Gunung Jati ini mengajarkan seni membatik sembari menyebarkan Islam. Sampai sekarang, makam Ki Gede masih terawat baik, malahan setiap tahun dilakukan upacara cukup khidmat, upacara Ganti Welit (atap rumput) dan Ganti Sirap setiap empat tahun. Kelihaian membatik itu ternyata memberi berkah di kemudian hari. Batik Trusmi berhasil menjadi ikon batik dalam koleksi kain nasional. Seolah kain batik dari desa ini tak masuk dalam keluarga batik Cirebon. Batik Cirebon sendiri termasuk golongan Batik Pesisir. Usaha yang bermula dari skala rumahan lama kelamaan menjadi industri kerajinan yang berorientasi bisnis. Produk batik Trusmi bukan sekadar memenuhi kebutuhan lokal, tetapi sebagian perajin mengekspor ke Jepang, Amerika, dan Belanda. Masa keemasan kerajinan batik di daerah ini terjadi pada kurun waktu 1950-1968. Tak heran bila sebuah koperasi di tingkat lokal, Koperasi Batik Budi Tresna yang menaungi perajin batik, sanggup membangun gedung koperasi yang sangat megah. Tak ketinggalan, sejumlah sekolah mulai dari tingkat SD, SLTP hingga SLTA. Di masa kini, peran alm. H. Masina tak bisa dilepaskan. Tokoh ini dikenal sebagai pengembang bisnis batik di Trusmi. Itu sebabnya ia pun didaulat untuk memimpin Koperasi Batik Budi Tresna.
Beberapa tahun lalu, alm H. Masina sempat mengeluhkan makin sulitnya mencari orang lokal yang mau berprofesi sebagai pembatik yang terampil. Penduduk sekitar lebih suka kerja ”kantoran” yang tak butuh ketrampilan tangan. Alhasil para pemilik industri batik mencari tenaga pembatik dari daerah lain, seperti Yogyakarta, Solo, atau Pekalongan.Bila dibanding dengan batik Yogyakarta, Solo atau Pekalongan, batik Trusmi punya ciri yang berbeda dan khas. Perbedaan yang paling kentara adalah dari segi warna dan motif. Batik Trusmi tampil dengan warna yang cerah dan ceria. Batik Yogyakarta atau Solo didominasi dengan warna gelap, biasanya coklat tua atau hitam. Secara umum, batik asal Cirebon muncul dengan warna-warna kain yang lebih cerah dan berani. Warna-warna cerah seperti merah, merah muda, biru langit, hijau pupus, dan tentu saja ini bisa kita lihat dalam kain batik Trusmi. Selain itu, gambar motifnya juga lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.
Begitu pula dengan motif yang menghiasi kain. Motif batik Trusmi berbeda dengan motif batik tradisional gaya Yogyakarta dan Solo. Pengaruh ini diakibatkan dengan letak geografis Cirebon yang ada di kawasan pantai, sehingga motif batik asal kota udang ini disebut motif Pesisiran. Dalam kain batik ini kita bisa jumpai gambar motifnya yang lebih bebas, melambangkan kehidupan masyarakat pesisir yang egaliter, seperti gambar aktivitas masyarakat di pedesaan atau gambar flora dan fauna yang memikat.Salah satu ciri khas batik asal Cirebon yang tidak ditemui di tempat lain adalah motif Mega Mendung, yaitu motif berbentuk seperti awan bergumpal-gumpal yang biasanya membentuk bingkai pada gambar utama. Motif Mega Mendung tersebut didapat dari pengaruh keraton-keraton di Cirebon.
Sungguh menyenangkan bisa berbelanja dan cuci mata melihat keindahan batik Cirebon dari kawasan Trusmi ini, sepertinya ingin sekali memborong deh batik-batik indah itu, harga nya pun tentunya jauh lebih murah dibandingkan kita beli di jakarta dan pilihan motifnya itu lho banyak sekali, bingung memilihnya saking banyak yang bagus.
Ada 3 tempat yang kami kunjungi dan semuanya boleh saya rekomendasikan, karena pilihannya banyak yang bagus dan cukup murah, walaupun ada juga yang mahalnya seperti ATM tulis, dan jangan lupa beli untuk koleksi kita dengan motif ciri khas Cirebon Mega Mendung dengan pilihan warna sesuai selera anda.
MASINA Trusmi, Plered Cirebon
Tilp ( 0231 ) 320300,321030
NINIK ICHSAN
Trusmi Kulon,Plered Cirebon
Tilp. ( 0231 ) 322 300,321800
PATRA BATIK
Jl. Panembehan No.131 Plered
Cirebon 45154
Tilp. ( 0231 ) 323929, 321340
Bisa kontak yang punya Bapak Iwan
Hp. 081 222 13915
Puas berbelanja batik kita diajak oleh panitia untuk makan siang menikmati Nasi Jamblang Mang Dul yang terkenal maknyus itu.
Sega Jamblang atau Nasi Jamblang adalah makanan khas masyarakat kota Cirebon, Jawa Barat. Nama Jamblang berasal dari nama daerah di sebelah barat kota Cirebon tempat asal pedagang makanan tersebut. Ciri khas makanan ini adalah penggunaan daun Jati sebagai bungkus nasi. Penyajian makanannya pun bersifat prasmanan. Menu yang tersedia antara lain sambal goreng (yang agak manis), tahu sayur, paru-paru goreng, semur hati atau daging , perkedel kentang , sate kentang, telur dadar/telur goring yg padat, telur masak sambal goreng, semur ikan , ikan asin jambal potongan kecil yang garing, tahu dan tempe. Wah banyak sekali variasinya sampai bingung kepingin semua merasakan takut tidak habis ya hehe..seperti nasi rames deh tapi bedanya piringnya daun jati.
Walaupun menunya sangat beraneka ragam, namun harga makanan ini relatif sangat murah. Karena pada awalnya makanan tersebut diperuntukan bagi untuk para pekerja buruh kasar di Pelabuhan dan kuli angkut di jalan Pekalipan. Makannya pun kita seperti di Warteg, tidak ada meja hanya kursi kayu panjang berderet, dan terserah kita mau duduk dimana. Yang juga enak adalah sehabis kita menikmati Nasi Jamblang, dessert nya adalah ice cream serut dicampur beberapa buah daging durian yang enak banget deh. Wah betul-betul makan berat nih hehe..persis kuli banget deh seperti abis kerja rodi hahaha…Tapi kita semua puas deh..
Setelah makan siang dengan Nasi Jamblang Mang Dul yang terkenal, kita segera menuju hotel untuk segera berkemas merapikan belanjaan dan segera menuju stasiun dengan menumpang KA Cirebon Express. Selama di Kereta api walaupun sempat digerbong kita sangat menyengat bau toilet yang terpaksa harus mengeluarkan semprotan parfum wangi untuk menghilangkan baunya, yang kemudian kita semua terlarut dalam canda tawa bercerita, bermain teka-teki, bertukar alamat dan berjanji untuk bisa reuni an lagi untuk melihat foto-foto, tentunya saya sambil membuat reportase terakhir liputan langsung Delta Female Jakarta dan Bandung. Perjalanan kita sampai lebih cepat daripada berangkatnya, tidak sampai 3 jam kita sudah sampai di stasiun Gambir dengan dijemput anak saya Kevin, Pak Darto supir saya dan bersama Suster. Kita berpisah sementara waktu dengan seluruh peserta dengan membawa kenangan manis.
Sungguh sebuah perjalanan yang menyenangkan dan kado berharga buat Ulang Tahun Perkawinan kami, yang pasti saya sebagai pendamping para peserta merasakan Tour Delta kali ini agak berbeda, cukup lengkap peserta bisa mendapatkan dari berbagai sisi. InsyaAllah bermanfaat dan semoga kita bisa buat lagi berikutnya dengan perjalanan yang lebih menarik lagi. Alhamdulillah,Thanks a lot buat Mas Iwan Tirta salut dan saya benar2 bangga, sukses buat Gelar.
Salam,
Ida Arimurti Johny